Selasa, 29 Juli 2014

PERTANIAN TEKNO-EKOLOGIS SOLUSI UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM




A.      Pengertian Pertanian Tekno-ekologis
Pertanian tekno-ekologis (eco-techno farming) merupakan model pertanian yang dikembangkan dengan memadukan model “pertanian ekologis” (eco-farming) dengan pertanian berteknologi maju (techno-farming). Pertanian ekologis merupakan model pertanian yang dikembangkan selaras dengan kondisi alam atau ekosistem setempat (Metzner dan Daldjoeni, 1987). Kekuatan utama sistem pertanian ini terletak pada integrasi fungsional dari beragam sumber daya, termasuk fungsi lahan dan komponen biologis, sehingga stabilitas dan produktivitas sistem usaha tani dapat ditingkatkan dan basis-basis sumber daya alam bisa dilestarikan (Reijntjes et al., 2002).
Pertanian tekno-ekologis berupaya memadukan kekuatan pertanian ekologis dengan pertanian berteknologi maju, sehingga akan terbentuk model pertanian yang lebih produktif, efisien, dan berkualitas dengan risiko yang lebih kecil sekaligus ramah lingkungan. Bahkan, pertanian tekno-ekologis yang memadukan sistem produksi siklus (peredaran zat makanan dan biomassa dalam satu rantai) dengan sentuhan teknologi maju, akan bisa mengarah pada “zero waste” atau pertanian tanpa limbah (Guntoro, 2007)


Model pertanian tekno-ekologis
B.      Kegagalan Revolusi Hijau dan Keterbatasan Pertanian Ekologis
Sejak awal Orde Baru, pemerintah telah mengembangkan pertanian yang berorientasi pada “memaksimalkan satu komoditas” dan didukung oleh teknologi maju. Hal ini dilakukan terutama untuk mengejar ketersediaan pangan, khususnya beras yang kemudian ditempuh dengan upaya yang disebut “Revolusi Hijau”. Program ini banyak diimplementasikan di negara berkembang. Revolusi hijau yang berlangsung sejak tahun 1960-an berupaya menekan banyak kasus kelaparan sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang melesat pasca perang dunia ke-II. Pada saat itu, pertumbuhan penduduk tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi pangan.
Pada prinsipnya, Revolusi Hijau berupaya memacu produksi pangan, terutama gandum dan padi, melalui penggunaan varietas unggul dengan sistem budi daya monokultur. Model pertanian ini didukung oleh perbaikan sistem irigasi, pemupukan intensif, serta pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida melalui pendekatan percontohan dan penyuluhan. Keberhasilan uji coba Revolusi Hijau di Meksiko lantas diikuti di Pakistan, India, dan negara-negara berkembang lainnya di dunia, termasuk Indonesia.
Revolusi Hijau meski berhasil mengurangi kasus kelaparan, tetapi juga menuai kritikan, terutama dari pecinta lingkungan. Kelompok-kelompok pro lingkungan mengkhawatirkan implementasi Revolusi Hijau karena banyak menggunakan bahan-bahan kimiawi (anorganik) dan hanya memaksimalkan produksi satu komoditas. Menurut mereka revolusi ini dapat mengancam keseimbangan lingkungan. Selain itu, program ini dinilai hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar pemasok sarana produksi pertanian.
Walaupun harus kita akui bahwa Revolusi Hijau telah berhasil meningkatkan produksi pangan secara mengesankan dan menyelamatkan masyarakat dunia dari krisis pangan, tetapi model pertanian yang digagas oleh Norman Ernest Borlaug ini ternyata banyak mengandung risiko bagi petani, seperti risiko harga dan atau kegagalan panen. Disamping itu, peningkatan pendapatan petani secara signifikan hanya berlangsung dalam jangka pendek dan menjadi lamban dalam jangka panjang. Ihwal ini tidak terlepas dari ketergantungan petani terhadap input luar yang terlalu tinggi.
Memasuki era pasar bebas, kita perlu meningkatkan daya saing, termasuk daya saing produk pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan). Untuk dapat meningkatkan daya saing produk pertanian, antara lain perlu meningkatkan mutu produk dan efisiensi dalam proses produksi. Pemanfaatan sumber daya lokal sebagai “input”, apakah sebagai bahan pupuk, pestisida, pakan ataupun energi, tentu akan membantu meningkatkan efisiensi. Pemanfaatan sumber daya lokal sebagai input tentu akan bisa dioptimalkan bila pertanian yang dikembangkan berpola integratif. Pola integratif (diversifikasi fungsional) sebagai salah satu ciri model pertanian tekno-ekologis sangat membantu dalam menjawab tantangan makin menyempitnya lahan pertanian. Pola ini cenderung mengefesiensikan penggunaan lahan dan air.
Dengan demikian, pertanian tekno-ekologis juga akan dapat membantu memecahkan persoalan lapangan kerja di perdesaan yang sangat diperlukan sejalan dengan makin bertambahnya angkatan kerja dan fenomena urbanisasi, tanpa harus merusak ekosistem. Karena itu, model pertanian ekologis yang dapat menerima masuknya komponen-komponen teknologi baru yang ramah lingkungan (pertanian tekno-ekologis) merupakan jawaban optimis terhadap masa depan dunia pertanian kita.

C.      Ciri dan Faktor Pembentuk Model Pertanian Tekno-ekologis
1.       Adanya Diversifikasi (Keragaman) Komoditas
Adanya keragaman (diversifikasi) komoditas merupakan ciri umum, sekaligus syarat mutlak bagi terbentuknya model pertanian tekno-ekologis. Dengan kata lain, sedikitnya harus ada dua komoditas atau spesies yang dibudidayakan dalam usaha tani ini.
Karena itu, jika hendak menerapkan model pertanian tekno-ekologis, sementara komoditas yang kita usahakan hanya satu jenis, kita perlu mengusahakan  setidaknya satu jenis komoditas lagi yang nantinya akan memiliki hubungan fungsional dengan komoditas pertama. Jika jumlah komoditas yang diusahakan lebih dari dua akan lebih baik lagi, sepanjang ada hubungan fungsional (pemanfaatan zat-zat makanan).
2.       Adanya Pola Integratif
Pola integratif merupakan ciri khas sekaligus faktor ini tebentuknya model pertanian tekno-ekologis. Tanpa adanya integrasi, tidak akan ada model pertanian tekno-ekologis. Jadi, ciri atau syarat utama berkembangnya model pertanian ini adalah adanya integrasi atau diversifikasi fungsional antara dua komoditas (spesies) atau lebih. Pola integratif adalah pola dalam usaha tani yang menekankan komoditas-komoditas yang diusahakan memiliki hubungan fungsional dalam pemanfaatan zat-zat makanan, sehingga antar komoditas tidak berkompetisi, melainkan saling substitusi dalam memenuhi kebutuhan hara atau nutrisi.
3.       Orientasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
Karena model pertanian tekno-ekologi mendorong terbentuknya siklus produksi tertutup, maka dengan sendirinya akan berorientasi pada pemanfaatan sumber daya lokal dan menekan masuknya masuknya input dari luar, karena adanya rantai pemanfaatan zat-zat makanan dari tanaman ke ternak berupa limbah tanaman untuk pakan dan dari ternak ke tanaman berupa limbah (feces dan urine) untuk pupuk.
4.       Ramah Lingkungan
Meski berorientasi pada pemanfaatan sumber daya lokal, model pertanian tekno-ekologis selalu membuka diri terhadap inovasi dan teknologi baru, sepanjang inovasi dan teknologi tersebut bersifat ramah lingkungan. Aplikasi teknologi ramah lingkungan merupakan ciri sekaligus pendukung penguatan model pertanian tekno-ekologis. Pengertian ramah lingkungan di sini, disamping mengurangi penggunaan bahan-bahan anorganik (pupuk, pestisida, pakan) dan meningkatkan penggunaan bahan-bahan organik, juga berorientasi untuk menjaga keseimbangan antarkomponen ekosistem.
5.       Adanya Pengolahan Hasil
Adanya teknologi pengolahan hasil bukan merupakan ciri utama model pertanian tekno-ekologis, tetapi merupakan faktor pendukung yang sangat penting.

0 komentar:

Posting Komentar