A. Pengertian Pertanian Tekno-ekologis
Pertanian tekno-ekologis (eco-techno farming) merupakan model pertanian yang dikembangkan
dengan memadukan model “pertanian ekologis” (eco-farming)
dengan pertanian berteknologi maju (techno-farming).
Pertanian ekologis merupakan model pertanian yang dikembangkan selaras dengan
kondisi alam atau ekosistem setempat (Metzner dan Daldjoeni, 1987). Kekuatan
utama sistem pertanian ini terletak pada integrasi fungsional dari beragam
sumber daya, termasuk fungsi lahan dan komponen biologis, sehingga stabilitas
dan produktivitas sistem usaha tani dapat ditingkatkan dan basis-basis sumber
daya alam bisa dilestarikan (Reijntjes et
al., 2002).
Pertanian tekno-ekologis berupaya memadukan kekuatan
pertanian ekologis dengan pertanian berteknologi maju, sehingga akan terbentuk
model pertanian yang lebih produktif, efisien, dan berkualitas dengan risiko
yang lebih kecil sekaligus ramah lingkungan. Bahkan, pertanian tekno-ekologis
yang memadukan sistem produksi siklus (peredaran zat makanan dan biomassa dalam
satu rantai) dengan sentuhan teknologi maju, akan bisa mengarah pada “zero
waste” atau pertanian tanpa limbah (Guntoro,
2007)
Model
pertanian tekno-ekologis
B. Kegagalan Revolusi Hijau dan Keterbatasan
Pertanian Ekologis
Sejak awal Orde Baru, pemerintah telah mengembangkan
pertanian yang berorientasi pada “memaksimalkan satu komoditas” dan didukung
oleh teknologi maju. Hal ini dilakukan terutama untuk mengejar ketersediaan
pangan, khususnya beras yang kemudian ditempuh dengan upaya yang disebut
“Revolusi Hijau”. Program ini banyak diimplementasikan di negara berkembang.
Revolusi hijau yang berlangsung sejak tahun 1960-an berupaya menekan banyak
kasus kelaparan sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang melesat pasca perang
dunia ke-II. Pada saat itu, pertumbuhan penduduk tidak dapat diimbangi oleh
pertumbuhan produksi pangan.
Pada prinsipnya, Revolusi Hijau berupaya memacu
produksi pangan, terutama gandum dan padi, melalui penggunaan varietas unggul
dengan sistem budi daya monokultur. Model pertanian ini didukung oleh perbaikan
sistem irigasi, pemupukan intensif, serta pengendalian hama dan penyakit dengan
pestisida melalui pendekatan percontohan dan penyuluhan. Keberhasilan uji coba
Revolusi Hijau di Meksiko lantas diikuti di Pakistan, India, dan negara-negara
berkembang lainnya di dunia, termasuk Indonesia.
Revolusi Hijau meski berhasil mengurangi kasus
kelaparan, tetapi juga menuai kritikan, terutama dari pecinta lingkungan.
Kelompok-kelompok pro lingkungan mengkhawatirkan implementasi Revolusi Hijau
karena banyak menggunakan bahan-bahan kimiawi (anorganik) dan hanya
memaksimalkan produksi satu komoditas. Menurut mereka revolusi ini dapat
mengancam keseimbangan lingkungan. Selain itu, program ini dinilai hanya
menguntungkan perusahaan-perusahaan besar pemasok sarana produksi pertanian.
Walaupun harus kita akui bahwa Revolusi Hijau telah
berhasil meningkatkan produksi pangan secara mengesankan dan menyelamatkan
masyarakat dunia dari krisis pangan, tetapi model pertanian yang digagas oleh
Norman Ernest Borlaug ini ternyata banyak mengandung risiko bagi petani,
seperti risiko harga dan atau kegagalan panen. Disamping itu, peningkatan
pendapatan petani secara signifikan hanya berlangsung dalam jangka pendek dan
menjadi lamban dalam jangka panjang. Ihwal ini tidak terlepas dari
ketergantungan petani terhadap input
luar yang terlalu tinggi.
Memasuki era pasar bebas, kita perlu meningkatkan daya
saing, termasuk daya saing produk pertanian (tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, perikanan dan kehutanan). Untuk dapat meningkatkan daya saing
produk pertanian, antara lain perlu meningkatkan mutu produk dan efisiensi
dalam proses produksi. Pemanfaatan sumber daya lokal sebagai “input”, apakah
sebagai bahan pupuk, pestisida, pakan ataupun energi, tentu akan membantu
meningkatkan efisiensi. Pemanfaatan sumber daya lokal sebagai input tentu akan bisa dioptimalkan bila
pertanian yang dikembangkan berpola integratif. Pola integratif (diversifikasi
fungsional) sebagai salah satu ciri model pertanian tekno-ekologis sangat
membantu dalam menjawab tantangan makin menyempitnya lahan pertanian. Pola ini
cenderung mengefesiensikan penggunaan lahan dan air.
Dengan demikian, pertanian tekno-ekologis juga akan
dapat membantu memecahkan persoalan lapangan kerja di perdesaan yang sangat
diperlukan sejalan dengan makin bertambahnya angkatan kerja dan fenomena
urbanisasi, tanpa harus merusak ekosistem. Karena itu, model pertanian ekologis
yang dapat menerima masuknya komponen-komponen teknologi baru yang ramah
lingkungan (pertanian tekno-ekologis) merupakan jawaban optimis terhadap masa
depan dunia pertanian kita.
C. Ciri dan Faktor Pembentuk Model Pertanian
Tekno-ekologis
1. Adanya Diversifikasi (Keragaman) Komoditas
Adanya keragaman (diversifikasi) komoditas merupakan
ciri umum, sekaligus syarat mutlak bagi terbentuknya model pertanian
tekno-ekologis. Dengan kata lain, sedikitnya harus ada dua komoditas atau
spesies yang dibudidayakan dalam usaha tani ini.
Karena itu, jika hendak menerapkan model pertanian
tekno-ekologis, sementara komoditas yang kita usahakan hanya satu jenis, kita
perlu mengusahakan setidaknya satu jenis
komoditas lagi yang nantinya akan memiliki hubungan fungsional dengan komoditas
pertama. Jika jumlah komoditas yang diusahakan lebih dari dua akan lebih baik
lagi, sepanjang ada hubungan fungsional (pemanfaatan zat-zat makanan).
2. Adanya Pola Integratif
Pola integratif merupakan ciri khas sekaligus faktor
ini tebentuknya model pertanian tekno-ekologis. Tanpa adanya integrasi, tidak
akan ada model pertanian tekno-ekologis. Jadi, ciri atau syarat utama
berkembangnya model pertanian ini adalah adanya integrasi atau diversifikasi
fungsional antara dua komoditas (spesies) atau lebih. Pola integratif adalah
pola dalam usaha tani yang menekankan komoditas-komoditas yang diusahakan
memiliki hubungan fungsional dalam pemanfaatan zat-zat makanan, sehingga antar
komoditas tidak berkompetisi, melainkan saling substitusi dalam memenuhi
kebutuhan hara atau nutrisi.
3. Orientasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
Karena model pertanian tekno-ekologi mendorong
terbentuknya siklus produksi tertutup, maka dengan sendirinya akan berorientasi
pada pemanfaatan sumber daya lokal dan menekan masuknya masuknya input dari luar,
karena adanya rantai pemanfaatan zat-zat makanan dari tanaman ke ternak berupa
limbah tanaman untuk pakan dan dari ternak ke tanaman berupa limbah (feces dan urine) untuk pupuk.
4. Ramah Lingkungan
Meski berorientasi pada pemanfaatan sumber daya lokal,
model pertanian tekno-ekologis selalu membuka diri terhadap inovasi dan
teknologi baru, sepanjang inovasi dan teknologi tersebut bersifat ramah
lingkungan. Aplikasi teknologi ramah lingkungan merupakan ciri sekaligus
pendukung penguatan model pertanian tekno-ekologis. Pengertian ramah lingkungan
di sini, disamping mengurangi penggunaan bahan-bahan anorganik (pupuk,
pestisida, pakan) dan meningkatkan penggunaan bahan-bahan organik, juga
berorientasi untuk menjaga keseimbangan antarkomponen ekosistem.
5. Adanya Pengolahan Hasil
Adanya teknologi pengolahan hasil bukan merupakan ciri
utama model pertanian tekno-ekologis, tetapi merupakan faktor pendukung yang
sangat penting.
0 komentar:
Posting Komentar